Pikiranku yang Sedang Ruwet
Entah kenapa beberapa minggu belakangan aku merasa sangat gloomy. Segala urusan berantakan sehingga aku cenderung menyalahkan diri sendiri.
Sebenarnya aku sadar betul dengan kondisiku. Aku masih dalam masa postpartum. Baru 9 bulan yang lalu aku menjalani operasi Caesar yang ketiga setelah kehamilan yang sungguh sulit. (Bayangkan. Besok lusa aku mau melahirkan, tapi hari ini aku masih muntah-muntah). Hormon dan kondisi tubuhku masih mengalami anomali dan belum pulih benar.
Selain postpartum, aku juga masih dalam keadaan berduka. Bulan Maret 2020 ini, Ibuku wafat. Hanya berselang 10 bulan setelah kepergian Bapak.
Kalau dipikir-pikir, mungkin emosiku tumpang tindih. Saat sedang berduka atas meninggalnya Bapak, aku hamil. Setelah aku melahirkan, Ibuku menyusul kepergian Bapak. Jadinya kayak aku sedang sedih, tapi ada kabar gembira. Ingin hati berbahagia, tapi aku sedang berduka. Rasanya kayak tidak bisa bersuka cita dengan plong. You know what I'm saying? Can you feel me?
Yang aku tidak tahu adalah pemicunya. Kenapa tiba-tiba setelah berbulan-bulan aku bisa mengendalikan pikiran dan perasaan, semua emosi tiba-tiba menyerang bertubi-tubi. Alhasil, aku jadi overthinking.
Banyak sekali pikiran yang tetiba hinggap di otak dan menetap disana. Kepalaku rasanya dipenuhi suara-suara toxic. Sungguh mengganggu. Menggelayuti bagai parasit. Aku tidak bisa menjalankan semua peranku. Aku tidak bisa berfungsi sama sekali.
To the point dimana aku membayangkan apakah suara-suara ini akan berhenti jika kepalaku diledakkan, aku sadar aku harus mencari bantuan. Aku harus cari cara menenangkan pikiranku. Segera.
Baca Juga: Hidup Tanpa Social Media Selama 2 Bulan, Begini Rasanya
Ruang Dengar dan Cerita
Strong Shalihah adalah sebuah komunitas belajar dan bertumbuh bagi calon istri dan ibu shalihah yang digagas oleh seorang psikolog Surabaya, Sovia Sahid, M.Psi.
Salah satu program acara rutin yang diadakan Strong Shalihah adalah Ruang Dengar dan Cerita. Di sini para peserta bisa saling berbagi cerita atau keluh kesah sesuai dengan tema yang diusung. Strong Shalihah percaya bahwa dengan bercerita, kita sebenarnya sudah berani menggali dan merefleksikan semua perasaan dan pengalaman selama menjalani kehidupan.
Pada bulan Oktober 2020, Ruang Dengar dan Cerita mengangkat isu "Mindfulness untuk Ibu dengan Pengalaman Baby Blues Syndrome". Ini kebetulan banget bertepatan dengan kondisi yang (sepertinya) sedang aku alami. Berpikir mungkin ini bisa jadi cara menenangkan pikiranku yang sedang kalut, aku segera mendaftar untuk masuk dalam Ruang Dengar dan Cerita.
Follow Instagram Strong Shalihah disini
Setelah mendaftar, aku dimasukkan ke dalam grup Whatsapp bersama 10 peserta lainnya. Hari pertama, kami saling berkenalan di grup. Hari kedua, kami bertatap muka secara daring melalui Zoom.
Dipandu oleh Beta Bela Pratiwi, M.Psi., Psi. sebagai fasilitator dan Siti Adiningrum, penulis buku antologi "Parenting Melelahkan yang Penuh Cinta" sebagai co-fasilitator, kami bergantian membagikan pengalaman baby blues syndrome kami.
Benar saja. Dada dan kepala rasanya lebih plong. Senang sekali rasanya diberi kesempatan untuk bercerita dan didengarkan. Senang sekali rasanya ada yang mau mendengarkan keluh kesahku.
Setelah bercerita, aku merasa dihargai karena ada yang mau mendengarkan tanpa menghakimi. Karena kami merasakan hal yang sama, kami tahu betul apa yang peserta lain bicarakan; kami tahu betul bagaimana rasanya.
Setelah bercerita, aku merasa diterima. Aku makin yakin bahwa yang aku rasakan ini valid, benar adanya, bukan lebay atau sekedar baper.
Baca Juga: Aku Ibu Bekerja di Rumah dengan 3 Anak Tanpa ART, Begini Caraku Agar Tidak Merasa Kewalahan
Relaksasi Pernapasan
Setelah mendengarkan pengalaman baby blues syndrome beberapa peserta, ruang pertemuan virtual dipenuhi isak tangis. Semua emosi negatif yang telah dikeluarkan membuat suasana terasa berat menggelayut. Kemudian sang fasilitator, Mbak Bela, Psi. menyarankan relaksasi pernapasan untuk membuat suasana lebih rileks.
Dikutip dari Berkeley Well-Being Institute, teknik pernapasan deep breathing bisa mengaktifkan sistem syaraf yang membantu menenangkan respons tubuh terhadap stres. Berhubung teknik pernapasan ini dapat membuat kita rileks dan menghilangkan stres, karenanya dinamakan relaksasi pernapasan.
Baca Juga: Hati-Hati. Kita Sering Terjebak Dalam 3 Pola Pikir Negatif Ini Tanpa Sadar
Teknik Relaksasi Pernapasan
Berikut ini adalah teknik relaksasi pernapasan yang diajarkan fasilitator Ruang Dengar dan Cerita, Mbak Bela, seorang psikolog klinis. Relaksasi pernapasan ini bisa dilakukan kapan saja untuk membuat kita lebih rileks dan membantu mengurangi stres.
1. Cari tempat yang nyaman
Entah di kamar tidur, di taman, atau di teras depan rumah. Dimana saja yang tenang dan kemungkinan tidak ada yang menganggu.
Lalu duduklah dengan punggung tegak. Mau duduk bersila di atas yoga mat? Silahkan. Atau duduk bersandar di kasur? Boleh. Duduk di sofa dengan kaki disilang di paha. Atau duduk dengan kaki diluruskan di atas rumput. Di mana saja dan posisi apa saja boleh asalkan nyaman.
Setelah duduk dengan tenang dan nyaman, bernapaslah seperti biasanya. Maksudnya, bernapas dengan normal saja; tidak perlu tarik napas dalam atau sejenisnya.
2. Fokus pada Tubuh
Coba perhatikan keadaan pikiran kita. Mungkin terlalu banyak pikiran yang berseliweran; atau mungkin dipenuhi dengan satu kekhawatiran yang terus-terusan muncul.
Coba tenangkan pikiran yang ruwet dengan fokus pada keadaan tubuh saat ini. Akan lebih baik jika kita menutup mata untuk mengurangi gangguan sehingga bisa memusatkan perhatian pada kondisi tubuh.
3. Tarik Napas Dalam dan Keluarkan Perlahan
Tarik napas dalam lewat hidung, lalu hembuskan (lewat hidung juga) sedikit-sedikit secara teratur sampai habis. Kita boleh tahan sebentar setelah mengambil napas. Tapi jika itu membuat kita tidak nyaman, ya tidak usah dilakukan. Jika kita menahan napas sebentar, keluarkan lewat mulut.
4. Rasakan Sensasi pada Tubuh
Sembari mengambil napas, rasakan udara mengalir masuk lewat hidung dan memenuhi rongga dada kita. Sambil menghembuskan napas, rasakan udara secara perlahan mengalir keluar lewat hidung (atau mulut). Perhatikan perut kita yang mengembang dan mengempis, atau pundak yang naik turun. Rasakan sensasi yang dirasakan tubuh saat kita melakukan relaksasi pernapasan.
5. Lepaskan Stres
Saat stres, tubuh kita cenderung jadi tegang. Pasti ada bagian tubuh yang menyimpan stres, entah kepala, pundak, leher, punggung, atau lainnya. Coba kendurkan bagian tubuh yang terasa tegang. Rasakan bagaimana pundak kita yang tadinya terangkat kaku, misalnya, menjadi lemas dan turun. Rasakan bagaimana tubuh kita perlahan makin lama makin rileks.
6. Sugesti Positif
Selama relaksasi pernapasan berlangsung, Mbak Bela memberikan sugesti positif seperti, "Lepaskan rasa stres lewat setiap hembusan napas. Rasakan ketenangan yang perlahan muncul. Rasakan betul ketenangan ini. Nikmati rasa tenang ini. Kita akan bisa memanggil kembali rasa tenang ini kapan pun kita butuhkan".
Baca Juga: Ramadan di Tengah Pandemi: Kesempatan Quality Time dengan Keluarga
Alhamdulillah sesi relaksasi pernapasan ini dapat menghadirkan kembali suasana santai di Ruang Dengar dan Cerita. Yang tadinya napasku memburu karena menahan tangis yang hampir meledak, setelahnya bisa tenang dan teratur. Sakit kepalaku juga hilang.
Yang lebih membahagiakan, semua pikiran toxic hilang and I'm back to my sense. I thank myself for seeking help for myself and I thank Allah karena telah mempertemukanku dengan cara menenangkan pikiran lewat konseling kelompok dan relaksasi pernapasan ini.
Jika pikiran kalian sedang ruwet, aku harap kalian bisa lebih tenang dengan relaksasi pernapasan seperti ini. Atau kalian punya cara lain untuk menenangkan pikiran? Tell me di kolom komentar yah. Insya Allah akan ada yang terbantu oleh saran dari kita.
Remember that our mental health matters.
Komentar
Mbak Vicky luar biasa hebat bisa berhasil melalui PPD.
Ga kepikir utk nemuin psikolog ato komunitas yg handle ini dulu mba :(
Beda dengan physical health. Ada keluhan sakit, langsung periksakan diri ke dokter. Tapi kalau urusan mental health, seringkali kita mikir ribuan kali untuk cari bantuan. Alasannya, ah, it's only in our mind. Padahal our mind is so strong and able to control us, right?